Minggu, 25 Desember 2016

Ruang Lingkup Pendekatan Filsafat


Dalam rangka menggali, menyusun dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan, terutama pendidikan islam, kiranya perlu diikuti pola dan sistem pemikiran kefilsafatan pada umumnya.

Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
  1. Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti bahwa cara berpikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis, artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan secara bulat dan terpadu.
  2. Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat tadikal artinya menyangkut persoalan-persoalan yang mendasar sampai ke akar-akarnya.
  3. Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik di masa sekarang maupun dimasa mendatang.
  4. Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran yang tidak didasari pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental.
Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang – bidang sebagai berikut:
  1. Cosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan.
  2. Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya.
  3. Philosophy of mind, yaitu pemikiran filosof tentang “jiwa” dan bagaimana hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebebasan berkehendak dari manusia (free will) dan sebagainya.
  4. Epistimologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia di peroleh, apakah dari akal pikiran (aliran rationalisme) atau dari pengalaman panca indera (aliran emperisme) atau dari ide-ide (aliran idealisme) atau dari Tuhan (aliran theologisme).
  5. Axiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan.
Pola dan sistem berpikir filosofis dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan alam, manusia dan alam sekitar di atas, menjadi objek pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. 

C. Pendekatan-pendekatan Filafat Pendidikan 

1. Pendekatan Progresif

Pendekatan dalam filsafat pendidikan akan lebih mudah dipahami arti pengertianya bila diajukan pandangan John Dewey tentang pokok masalah, dalam bukunya yang monumental kontraversal, yaitu Democracy and Education yang dapat dibaca dan diselami apa yang tersurat dan tersirat di dalamnya, seperti dibawah ini:
  • Filsafat pendidikan adalah bukanya suatu pola pikiran yang jadi dan disiapkan sebelumnya dan yang datangnya dari luar kedalam suatu sistem praktek pelaksanaan yang amat sangat berbeda asal usulnya maupun tujuannya.
  • Filsafat pendidikan tiada lain merupakan suatu perumusan secara jelas dan tegas eksplisit tentang problem-problem pembentukan pola kehidupan mental dan moral, 
  • Definisi filsafat yang paling tepat dan kena pada inti permasalahanya yang dapat diajukan adalah teori pendidikan dalam pengertianya yang umum dan teoritis.
  • Pembangunan kembali filsafat, pendidikan dan surat cita-cita ideal sosial tentang nilai dan norma, dan metodenya adalah berjalan dan dilaksanakan secara serempak.
  • Apabila pada saat ini dirasakan perlunya keharusan membangun kembali pendidikan, dan kebutuhan ini mengharuskan diadakan peninjauan kembali, suatu pemikiran kembali dasar-dasar pokok sistematika filsafat tradisional. Hal demikian itu sebagai akibat perubahan sosial yang besar dan mendasar yang menyertai kemajuan ilmu pengetahuan, relovasi industry dan perkembangan demokrasi.
2. Pendekatan Tradisional

Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan progresif secara sederhana dapat dijelaskan dengan bahwa pada pendekatan mengakui dan mementingkan dunia sana yang transcendental metafisis yang langgeng, yang menentukan tujuan hidup dan sekaligus tujuan manusia, sehingga akan terjadi sumber-sumber dasar nilai dari filsafat pendidikannya. Sedang tenaga sosial hanya akan menyediakan sarana, dengan kata lain tenaga pengembangan sosial ini akan memberikan modal dalam penyusunan science of education yang diperlukan. Menurut asas pendekatan tradisional antara filsafat pendidikan dan science of education dibedakan secara tegas, sedang pada pendekatan progresif keduanya bersumber pada kenyataan yang sama, dan satu-satunya yaitu tenaga pengembang sosial masyarakat. Maka dari itu pendekatan progresif hanya berpijak kepada teori etika dan metode penyesuaian masalah sosial, yaitu pola dasar sikap moral dan pola dasar sikap mental, dan menentang segala hal yang berkaitan tentang kenyataan transcendental metafisis yang spiritual dan didunia sana di masa mendatang. Sebaliknya pendekatan-pendekatan tradisional, seperti namanya, sangat taat dan sistematika filsafat tradisional, yang menepatkan filsafat sebagai dasar pendidikan dan pengajaran. Ini terbukti dengan penempatan filsafat metafisika, yang sangat ditentang oleh aliran pendekatan progresif, sebagai masalah pokok dalam filsafat pendidikan. 

Salah satu pembuktian tentang kenyataan alam metafisis dalam pengertian kenyataan dunia pengalaman dibalik dan sesudah dunia yang fana ini adalah kenyataan bahwa apabila sesuatu atau segala masalah yang terjadi dan timbul di dunia ini dapat diselesaikan di dunia ini, Kesalahan yang telah dibuat, atau dosa kita, atau hutang, baik didunia ini, maka dan sekali lagi, maka apa gunanya atau apa perlunya di dunia sekarang ini kita berbuat baik. Ternyata banyak masalah yang tidak diselesaikan, dank arena itu diselesaikan sesudah mati, di dunia sana yang metafisis. Sebagai ilustrasi tentang pendekatan tradisional ini, dan melanjutkan apa yang telah dikekemukakan dalam kaitanya dengan aliran Herbartianisme, sebagai bandingan terhadap aliran Deweyisme, di bwah ini dianjurkan uraian singkat tentang aliran filsafat pendidikan esentialisme dan atau pereenialisme, Biasanya kedua aliran ini disejajarkan, karena keduanya tidak berbeda dalam ajaran dasarnya. Keduanya bersumber pada dasar yang sama tentang antropologi metafisiknya, yaitu ajaran Aristoteles dan Plato tentang hakikat kenyataan dan hakikat manusia, Aliran Essentialisme disebut filsafat pendidikan sekuler, Sedang aliran Perennialisme disebut filsafat pendidikan keagamaam. Essentialisme mengajarkan hakikat manusia sebagai sejenis binatang yang dapat berpikir, dan Perennialisme melanjutkan dasar titik tolak ini dengan mengatakan bahwa Tuhan dianggap sebagai Sang Maha kesadaran mutlak (Absolute Consciousness) , Sedang manusia sebagai cerminan rasio Tuhan disebut sebagai kesadaran pribadi (Personal Consciousness )yang terbatas kemampuan daya ciptanya, Asas kedua adalah bahwa hakikat jiwa manusia adalah terdiri atas daya-daya jiwa yang berbeda dan bekerja secara terpisah-pisah atau bersama-sama, yang menimbulkan gejala kesadaran atau tingkah laku, Setiap daya-daya jiwa seperti penginderaan, pengamatan ingatan, tanggapan, pikiran dan perasaan akan dapat berkembang atau dikembangkan sesuai dengan bahan-bahan pelajaran tertentu. Berdasarkan jalan pemikiran ini maka dalam kepustakaan pendidikan dan psikologi pendidikan kita dikenalkan konsep istilah mata pelajaran ingatan, pikiran, hafalan, ekspresi, dan mata pelajaran keterampilan. Sebagai asas ketiga dan sesuai dengan asas kedua diatas, adalah bahwa nilai fungsianal mata pelajaran adalah untuk pembentukan, atau disiplin menilai formal teoritis intelektual. Sehingga semakin sulit bahan pelajaran semakin tinggi nilai pembentukan nilainya. Semakin keras dan ketat latihan-latihan semakin kuat dan besar nilai pembentukanya. Apakah bahan pelajaran yang disajikan sesuai dengan kehidupan sosialnya, dan digunakan untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkunganya, tidak menjadi masalah bagi aliran ini.


Sumber:

Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2003, hal 1






Tidak ada komentar:

Posting Komentar