Konsep Dasar Aliran
Filsafat Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1. Hakikat pendidikan
menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme
adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan
proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru
berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi
pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.
Teori ini mencerminkan
siswa memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat
memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2. Tujuan umum pendidikan
menurut aliran filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan salah satu perkembangan model pembelajaran mutakhir yang
mengedepankan aktivitas peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk
dapat melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuannya sendiri. Aliran
konstruktivisme ini, dalam kajian ilmu pendidikan merupakan aliran yang
berkembang dalam psikologi kognitif yang secara teoritik menekankan peserta
didik untuk dapat berperan aktif dalam menemukan ilmu baru. Kontruktivisme
menganggap bahwa semua peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan
peristiwa (gejala) yang terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun gagasan atau
pengetahuan ini sering kali masih naif, atau juga miskonsepsi. Konstruktivisme
senantiasa mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif ini secara kokoh.
Gagasan atau pengetahuan tersebut terkait dengan gagasanatau pengetahuan awal
lainnya yang sudah dibangun dalam wujud schemata (struktur
kognitif/ pengetahuan).
Pembelajaran
konstruktivisme juga memungkinkan tersedianya ruang yang lebih baik bagi
keterlibatan peserta didik, memungkinkan peserta didik untuk bereksplorasi:
menggali secara lebih dalam kemampuan, potensi, keindahan dan sikap perilaku
yang lebih terbuka.Di antara ciri yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran
konstruktivisme ini adalah peserta didik tidak diindoktrinasi dengan
pengetahuan yang disampaikan oleh guru, melainkan mereka menemukan dan
mengeksplorasi pengetahuan tersebut dengan apa yang telah mereka ketahui dan
pelajari sendiri. Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu
mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain
melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki
seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan
berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang
ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan
prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai
tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan
pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan
mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan
dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu
menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni
mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau
miskonsepsi pada diri peserta didik.
3. Hakikat guru menurut
aliran filsafat konstruktivisme
Dalam pembelajaran
konstruktivis menurut Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran guru atau
pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan
mediator yang tugasnya memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar sendiri
dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban untuk
mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan gagasan para ahli atau
tidak.
Menurut prinsip
konstruktivis, seorang guru punya peran sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Maka tekanan
diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang
mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman
belajar yang memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat design,
proses, dan penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Guru menyediakan atau
memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa, membantu
mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya
(Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang berpikir siswa
secara produktif dan mendukung pengalaman belajar siswa.
c. Memonitor, mengevaluasi
dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan
dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan
kesimpulan siswa. Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d. Dalam sistem
konstruktivis guru dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu
mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau
diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru
menerima pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk
menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan
seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu
pemecahan persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang
guru adalah menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk
belajar secara aktif dimana peran siswa bisa menciptakan, membangun,
mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi
eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi, Sukadi,1996). Untuk mencapai hal
tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya
sendiri. Dengan demikian tugasnya guru adalah disamping sebagai pemberi
informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa siswa menerima tanggung jawab bagi
belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa dan antusias.
Kecenderungan pola
pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada bagaimana siswa belajar
dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar di depan kelas.
Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama proses
belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi, menilai,
dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
4. Hakikat murid menurut
aliran filsafat konstruktivisme
Berbeda dengan behaviorisme,
konstruktivisme memfokuskan pada proses-proses pembelajaran bukannya pada
perilaku belajar. Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha
untuk mengidentifikasi bagaimana siswa mengkonstruksi atau membentuk pemahaman
mereka terhadap bahan yang mereka pelajari.
Para siswa menciptakan
atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi
dengan dunia. Pendekatan konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks
sosial yang didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi
sosial dan negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktik kelas,
pendekatan konstruktivis mendukung kurikulum dan pengajaran student center
bukannya teacher center. Siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan
bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan
untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa
untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra
belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu.
Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber
belajar yang lain bisa teman sebaya.ratorium,
televisi, koran dan internet.
Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang mereka
pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung
jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi
belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang
dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah
ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada
dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu
realita. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif
melalui kegiatan mental seseorang. Transformasi pengetahuan dalam
konstruktivisme adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi
menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai
subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap
pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down
processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk
dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan
keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika
siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk
membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian
bagaimana menulis titik dan komanya.
5. Hakikat pembelajaran
menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti
sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan
proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya
dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
a. Belajar berarti
membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang
telah ia punyai.
b. Konstruksi arti adalah
proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau
persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c. Belajar bukanlah
kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan
membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang
menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang
sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang
pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah
situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar
dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f. Hasil belajar seseorang
tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan
motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno
2001:61).
Sehingga bisa dikatakan
bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu,
daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu
kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang
berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya
pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi
objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti,
berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan
gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
Setiap siswa
mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa setiap siswa mengerti
kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu
menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap siswa mempunyai
cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang kadang sangat
berbeda dengan teman-teman yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa
siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok dan
juga penting bagi guru menciptakan bermacam-macam situasi dan metode yang
membantu siswa. Satu model belajar dan mengajar tidak akan membantu banyak
siswa.
Siswa sudah membawa
konsep yang bermacam-macam dalam ruang pelajaran sebelum pelajaran formal
dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan pengetahuan
yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial,
emotional, kultural masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman
mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat
penting dimengerti oleh guru agar dapat membantu memajukan dan
memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.
Sumber:
Sadulloh,
Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Mudyahardjo,
Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Bandung: PT RajaGrafindo Persada.
Alwasilah,
A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar