Rabu, 21 Desember 2016

Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme Tentang Pendidikan



Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1.    Hakikat pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2.    Tujuan umum pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan salah satu perkembangan model pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktivitas peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuannya sendiri. Aliran konstruktivisme ini, dalam kajian ilmu pendidikan merupakan aliran yang berkembang dalam psikologi kognitif yang secara teoritik menekankan peserta didik untuk dapat berperan aktif dalam menemukan ilmu baru. Kontruktivisme menganggap bahwa semua peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) yang terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun gagasan atau pengetahuan ini sering kali masih naif, atau juga miskonsepsi. Konstruktivisme senantiasa mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif ini secara kokoh. Gagasan atau pengetahuan tersebut terkait dengan gagasanatau pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun dalam wujud schemata (struktur kognitif/ pengetahuan).
Pembelajaran konstruktivisme juga memungkinkan tersedianya ruang yang lebih baik bagi keterlibatan peserta didik, memungkinkan peserta didik untuk bereksplorasi: menggali secara lebih dalam kemampuan, potensi, keindahan dan sikap perilaku yang lebih terbuka.Di antara ciri yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme ini adalah peserta didik tidak diindoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan oleh guru, melainkan mereka menemukan dan mengeksplorasi pengetahuan tersebut dengan apa yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
3.    Hakikat guru menurut aliran filsafat konstruktivisme
Dalam pembelajaran konstruktivis menurut Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran guru atau pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan mediator yang tugasnya memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban untuk mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan gagasan para ahli atau tidak.
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru punya peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut:
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat design, proses, dan penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b.      Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang berpikir siswa secara produktif dan mendukung pengalaman belajar siswa.
c.       Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan siswa. Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d.      Dalam sistem konstruktivis guru dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi, Sukadi,1996). Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya guru adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar di depan kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
4.    Hakikat murid menurut aliran filsafat konstruktivisme
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi bagaimana siswa mengkonstruksi atau membentuk pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka pelajari.
Para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Pendekatan konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktik kelas, pendekatan konstruktivis mendukung kurikulum dan pengajaran student center bukannya teacher center. Siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya.ratorium, televisi, koran dan internet.
Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan mental seseorang. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivisme adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.

5.    Hakikat pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
a.       Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.      Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.       Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.       Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
 Setiap siswa mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa setiap siswa mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok dan juga penting bagi guru menciptakan bermacam-macam situasi dan metode yang membantu siswa. Satu model belajar dan mengajar tidak akan membantu banyak siswa.
Siswa sudah membawa konsep yang bermacam-macam dalam ruang pelajaran sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emotional, kultural masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti oleh guru agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.
Sumber:
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Bandung: PT RajaGrafindo Persada.
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar