Sabtu, 10 Desember 2016

Pendasaran Teoritis Filsafat Untuk Anak

Pendasaran Teoritis Filsafat Untuk Anak
Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar. Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak (1), berdiskusi bersama anak, guna menjawab pertanyaan ini (2), melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka (3) dan mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada (4).

Metode tersebut harus juga memiliki roh. Ada dua roh yang ditawarkan di dalam filsafat untuk anak ini, yakni roh kesetaraan dan roh keterbukaan. Artinya, hubungan antara guru dan murid di dalam kelas haruslah merupakan hubungan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Keduanya adalah partner untuk berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Yang kedua adalah keterbukaan. Setiap pertanyaan adalah sah. Setiap jawaban dilihat sebagai kemungkinan. Tidak ada yang mutlak. Semuanya adalah proses yang menuju pada hasil yang bisa dipertanyakan lagi kemudian. Roh kesetaraan dan keterbukaan akan membuat suasana menjadi tenang dan menyenangkan. Pikiran pun bisa berkembang di dalam dialog dengan orang lain. Pola ini tidak hanya menyentuh bagian intelektual anak, tetapi juga sikap hidupnya yang nantinya juga akan mengedepankan kesetaraan dan keterbukaan. Dua keutamaan ini amat penting untuk kehidupan.
Dimana peran orang dewasa di dalam proses ini? Orang dewasa disini, menurut Gregory, berperan sebagai fasilitator sekaligus pengatur lalu lintas dari pertanyaan dan diskusi. Orang ini harus mencintai dunia pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Ia melihat dirinya sebagai pencari yang bekerja sama dengan anak-anak, guna menemukan sudut pandang baru atas pertanyaan-pertanyaan lama. Ia menjadi “contoh” dari bagaimana orang harus berfilsafat itu sendiri. Ia memberikan contoh, bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik. Ia juga menjadi contoh, bagaimana mengajukan jawaban-jawaban yang bersifat terbuka, yang merangsang pertanyaan berikutnya. Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut pandang baru atas masalah-masalah lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa bersifat menjatuhkan atau menghina. Ia juga mampu menghubungkan berbagai aliran ide yang ada, sehingga diskusi tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang jawaban-jawaban dangkal yang memberikan kepastian mutlak atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri juga bersikap kritis pada pendapat-pendapatnya sendiri.
Sang “fasilitator filosofis” ini juga mampu menggoyang pemahaman-pemahaman lama yang ada dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kemapanan. Ia juga tidak menilai, apakah suatu pendapat salah atau benar. Ia hanya mempertanyakan segala pendapat yang muncul di dalam diskusi dengan anak. Ia melihat anak sebagai manusia yang bermartabat, yang layak untuk didengarkan dan ditanggapi secara seksama. Ia juga mampu menggali unsur-unsur filosofis dari pendapat yang muncul. Yang diharapkan adalah, supaya anak memahami pola berpikir filosofis yang dicontohkan, dan menjadikan pola ini sebagai bagian dari diri mereka. Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa “fasilitator filosofis” ini haruslah sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki visi yang sama tentang kaitan antara filsafat dan pendidikan. Program “anak-anak berfilsafat” ini haruslah juga memiliki struktur, misalnya dilakukan oleh satu tim yang sama seminggu sekali. Dibutuhkan kerja sama antara pihak sekolah dan pihak yang menawarkan program ini. Di Jerman, beberapa institut memberikan pelatihan resmi dengan sertifikat resmi untuk para fasilitator dari program ini, guna menjaga mutu dari proses yang ditawarkan.
Pengalaman di Jerman, sebagaimana dituturkan Gregory, menunjukkan, bahwa perjumpaan seminggu sekali dalam program filsafat untuk anak tidaklah cukup. Di beberapa sekolah, misalnya, ditawarkan program filsafat untuk anak yang dilakukan setelah pulang sekolah. Mereka menyebutnya sebagai “klub filsafat” (Philo-sophie-Clubs). Program ini banyak membantu anak-anak yang merasa tertinggal dalam pelajaran di kelas. Mereka bisa mengajukan pertanyaan dan menemukan sudut pandang berbeda melalui diskusi-diskusi yang dilaksanakan. Tentu saja, program semacam ini tidaklah cukup. Orang tua haruslah juga mampu merangsang pikiran anak melalui percakapan-percakapan bermutu setiap harinya. Melalui diskusi-diskusi filsafat yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda. Pemahaman antar budaya, antar agama dan antar kelas sosial juga bisa tercipta melalui program “anak-anak berfilsafat” ini. Di dalam proses diskusi semacam ini, pemahaman agama juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk terorisme.

Di balik itu semua, kita bisa melihat, bahwa program ini adalah bagian dari pendidikan nilai-nilai (Wertebildung) untuk kehidupan.7Dalam arti ini, nilai bukan berarti nilai baik buruk seturut dengan agama atau tradisi tertentu, melainkan kemampuan untuk secara masuk akal dan bebas menentukan apa yang akan dilakukan pada sebuah keadaan tertentu yang bersifat partikular. Dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia dan Jerman, tidak ada satu nilai homogen. Yang ada bukanlah “Nilai” dengan N besar, melainkan “nilai-nilai”. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki beragam kultur dengan beragam pandangan hidup serta nilai-nilai di dalamnya. Keadaan ini memiliki setidaknya dua sisi. Di satu sisi, orang menemukan jalan yang damai untuk mencapai kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Di sisi lain, orang dengan mudah terjatuh ke dalam relativisme, dimana tidak ada lagi yang benar dan yang salah. Semua boleh dilakukan, asal sejalan dengan keinginan dan kebutuhan pribadi. Di keadaan semacam ini, masyarakat sulit untuk menemukan ikatan sosial yang menjadi dasar untuk solidaritas dan kesejahteraan bersama.

Relativisme adalah penolakan ekstrem terhadap kekakuan aturan dan moral yang sudah ada sebelumnya. Namun, relativisme jelas memiliki masalahnya sendiri. Apapun yang ekstrem selalu melahirkan masalah. Oleh karena itu, apapun bentuknya, ekstremisme sedapat mungkin dihindari. Dalam konteks ini, relativisme yang lahir dari proses berfilsafat haruslah disadari dan kemudian dibatasi. Ketika ia dibatasi, yang muncul adalah paham pluralisme, bahwa ada banyak tolok ukur nilai yang bisa digunakan, namun nilai-nilai tersebut tetap berlaku dalam konteksnya masing-masing. Kata “konteks” menjadi sangat penting disini. Pemahaman yang jeli tentang konteks yang ada melahirkan ketepatan dalam menilai dan bertindak. Ini amat penting di dalam masyarakat plural yang memiliki tolok ukur nilai berbeda-beda. Dalam arti ini, menurut Höffling, filsafat berperan sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Ia berdiri sekaligus menjembatani dua kutub. Kutub pertama adalah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa sikap kritis. Kutub yang kedua adalah relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain.
Sumber:
Gregory, Maughn, “Was ist Philosophie für Kinder?”, dalam Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, 2007, hal. 35-36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar