Minggu, 25 Desember 2016

Peran Sekolah Teradap Karakter Siswa

Pengertian Pendidikan Karakter Siswa

Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan karakter siswa adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap pendidikan karakter hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan karakter melekat pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil jika pendidikan karakter hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.

Pendidikan karakter siswa harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, jika tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, hasilnya tidak akan memuaskan. Keluarga adalah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih. Meski terkadang pemerintahan yang bersih masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan karakter akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja, maka dari itu mari kita mulai sedini mungkin tentang pendidikan karakter siswa.

Pendidikan Karakter Siswa yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras. Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik dapat mencintai perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya. Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal. Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan informasi sebanyak mungkin kepada para siswa.

Pendidikan karakter siswa bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.

Tujuan Pendidikan Karakter


Tujuan pendidikan karakter siswa itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan karakter positif terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang. Tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah manusia yang baik itu? Yaitu manusia yang mengenal dirinya, lalu ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan mampu mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan manusia paripurna yang dapat memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial. Hal ini dimaksudkan agar manusia yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.

Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan karakter positif warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Intinya, karakter warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.

Hubungan Sekolah Melalui Keteladanan Guru dan Pendidikan Berkarakter

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.

Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Guru sejatinya bukan sembarang pekerjaan, melainkan profesi yang pelakunya memerlukan berbagai kelebihan, baik terkait dengan kepribadian, akhlak, spiritual, pengetahuan dan keterampilan. Peran guru bukan sekadar mentransfer pelajaran kepada peserta didik. Tapi lebih dari itu guru bertanggungjawab membentuk karakter peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan terampil dalam menjalani kehidupannya. Inilah tugas guru yang amat strategis dan mulia.

Apalagi dewasa ini kehadiran guru sebagai pendidik semakin nyata menggantikan sebagian besar peran orang tua yang notabene adalah pengemban utama amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dikaruniakan kepadanya. Dengan berbagai sebab dan alasan, orang tua telah menyerahkan bulat-bulat tugas dan tanggung jawabnya kepada guru di sekolah dengan berbagai keterbatasannya. Demikian pula masyarakat yang kontrol sosialnya semakin melemah dan pemerintah yang selama ini lebih menitikberatkan pembangunan di sektor fisik, semuanya ikut mengambil andil terhadap kegagalan pembentukan karakter bangsa.

Menyadari hal ini, pemerintah mulai tahun ajaran 2011/2012 menjadikan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi termasuk pendidikan nonformal dan informal. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan, ”Pembentukan karakter siswa tidak bisa lepas dari peran guru. Bagaimana manusia Indonesia pada tahun 2045 mendatang (100 tahun Indonesia merdeka), ditentukan bagaimana guru membentuk siswa saat ini” (www.kemdiknas.go.id). Karenanya, di pundak guru terletak salah satu beban untuk merestorasi karakter dan kepribadian mulia bangsa Indonesia yang telah berada pada titik nadir. Guru diharapkan bisa mengembalikan peradaban bangsa yang tinggi, yang selama ini telah tergantikan dengan julukan bangsa yang korup, tidak memiliki kepribadian, bangsa yang kacau, jorok, bodoh, anarkis dan banyak atribut jelek lainnya yang kini melekat pada bangsa tercinta ini.

Kegagalan membentuk karakter bangsa merupakan kesalahan kolektif yang harus dibenahi bersama. Oleh karena itu solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan berkomitmen untuk melakukan perbaikan secara kolektif pula. Masing-masing kita harus instrospeksi diri dan berusaha keras untuk mencari solusi guna memperbaiki dan mengembalikan serta meningkatkan karakter positif bangsa. Lakukan yang terbaik yang kita bisa, jangan sibuk mencari kesalahan orang lain. Tapi mari kita mulai dari diri kita, orang terdekat kita dan tugas di bawah tanggung jawab kita. Dan guru adalah salah satu pilar penentu keberhasilan pendidikan karakter.

Dari berbagai asal dan dengan berbagai alasan banyak orang memilih profesi guru. Apapun latar belakangnya, apapun motivasinya, dan apapun alasannya, profesi guru menuntut kompetensi sebagai guru. Guru berkompeten yang diharapkan tentu saja guru yang tidak hanya mengetahui tugas dan tanggung jawabnya, tapi juga harus mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin.

Merujuk pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Dari keempat kompetensi tersebut, aspek yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang berkarakter dan layak diteladani adalah aspek kepribadian (personalitas). Karena aspek kepribadian inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian, dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan. Seorang guru harus memiliki kematangan, baik intelektual maupun emosional. Kematangan ini terlihat dari kemampuan bernalar dan bertutur, memberi contoh dan sikap yang baik, mengerti perkembangan anak dengan segala persoalannya, kreatif, inovatif, menguasai materi dan banyak metode pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan, situasi dan intelegensi peserta didik.

Pembelajaran Modelling di Sekolah

Menurut Rani Pardini yang dikutip oleh Adhi, R (2010), ada tiga model guru berdasarkan tingkatan kualitasnya, yaitu guru okupasional, guru profesional, dan guru vokasional.

Guru okupasional adalah sosok guru yang menjalani profesi guru sekadarnya, tanpa kepedulian lebih memerhatikan anak didiknya. Guru professional adalah guru yang memiliki tanggung jawab lebih memenuhi kualifikasi undang-undang dan syarat kompetensi guru sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sementara Guru vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga menjalani tugasnya dengan penuh antusias, sabar, komitmen, dan terus mengembangkan diri serta profesinya.

Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model yang dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Berk yang dikutip oleh Sit, M (2010), prilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan.

Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai prilaku moral, pro sosial dan aturan-aturan lainnya untuk tindakan yang baik. Demikian pula menurut Social Learning Theory dalam Bandura yang dikutip oleh Hadiwinarto, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru, dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. Sebab seseorang dapat belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, sekurang-kurangnya mendekati bentuk perilaku orang lain, dan terhindar dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar