Sabtu, 10 Desember 2016

Pendidikan Nilai Filsafat Untuk Anak

Sebagai bagian dari pendidikan nilai, menurut Zeitler, banyak orang meragukan peran filsafat untuk perkembangan pemikiran dan nilai-nilai hidup anak. Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang abstrak dan kering, yang kerap kali tidak memiliki hubungan langsung dengan kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa pemahaman semacam ini memiliki peran di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para professor filsafat di berbagai perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di Indonesia?), juga memiliki pendapat serupa. Dasarnya argumennya adalah, bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan pendapat dan membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga dianggap belum mampu menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri. Apakah pendapat ini bisa dibenarkan?

Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di dalam penelitian yang ia lakukan, ia menemukan, bahwa anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis. Dua kemampuan ini amat penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang amat besar, yang amat berguna untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang suatu hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka lalu bertanya, mengajukan kemungkinan jawaban, lalu membongkar jawaban tersebut dengan pertanyaan lebih jauh. Proses diskusi filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan meningkatkan kemampuan untuk menggali pemahaman melalui tanya jawab yang berlangsung secara terbuka. Hasilnya adalah keterbukaan pikiran dan kesadaran diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit. Dengan dua kemampuan ini, anak diajak untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpijak pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara berpikir dogmatis atau relativisme.

Program filsafat untuk anak-anak, dengan demikian, berdiri di atas dua tegangan, yakni ketidakpercayaan masyarakat luas pada kemampuan filsafat untuk mengembangkan pemikiran anak-anak, dan penelitian-penelitian yang membuktikan, bahwa anak-anak sudah memiliki kemampuan yang mencukupi untuk berpikir filosofis. Zeitler berpendapat, bahwa filsafat tidak hanya bisa menjadi materi pendidikan anak, tetapi juga bisa menjadi prinsip dasar pendidikan yang baru untuk anak-anak. Dengan metode ini, anak diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran reflektif akan dirinya sendiri sejak dini. Ia juga akan memiliki keterbukaan berpikir di dalam melihat dunia, serta membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Semua kemampuan ini amat penting untuk bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat plural dan demokratis, seperti di banyak negara sekarang ini, seperti Indonesia.

Di dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia, ada beragam pandangan hidup yang berkembang. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Keterbukaan berpikir adalah salah satu nilai hidup yang penting untuk dimiliki. Keadaan ini membuat hidup menjadi semakin kompleks. Orang tidak bisa lagi begitu saja menyatakan, bahwa pandangan hidupnya lebih baik dan lebih benar dari pandangan hidup lainnya. Dialog yang berpijak pada keterbukaan berpikir menjadi hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Di sisi lain, orang hidup dengan jutaan informasi yang ia terima melalui berbagai media setiap harinya. Kondisi ini diebut Zeitler sebagai “masyarakat banjir informasi” (Informationsflutsgesellschaft). Berbagai tayangan media mengajarkan satu hal kepada banyak orang, bahwa di dalam hidup, ia perlu untuk terus membeli barang-barang yang baru, supaya bisa bahagia. Di dalam keadaan semacam ini, orang sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif atas hidupnya. Ia terbenam untuk bekerja, supaya bisa membeli lebih banyak barang lagi, tanpa henti. Pada titik ini, yakni di dunia yang semakin plural dalam hal tata nilai serta serbuan konsumtivisme dari berbagai penjuru media yang mendangkalkan kemampuan berpikir orang, apa kiranya yang bisa disumbangkan filsafat, terutama untuk pengembangan cara berpikir anak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Zeitler, kita perlu untuk menegaskan terlebih dahulu arti sesungguhnya dari filsafat. Pada titik ini, filsafat dapat dipahami dengan dua cara. Yang pertama adalah melihat filsafat sebagai cara pandang tertentu atas dunia. Ia menghasilkan teori untuk menjelaskan dan memahami dunia tempat kita tinggal. Yang kedua adalah melihat filsafat tidak sebagai teori untuk menjelaskan dunia, tetapi sebagai cara hidup, yakni cara hidup yang mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif atas segala hal di dalam dunia. Walaupun memiliki rumusan yang berbeda, keduanya memiliki akar yang sama, yakni rasa kagum dan rasa ingin tahu atas segala yang ada di dunia. Dua hal itulah yang menjadi energi dari filsafat. “Berfilsafat,” demikian tulis Zeitler, “dimulai dengan definisi dasar yakni kemampuan manusia untuk merasa kagum dan heran atas dunia dan segala pertanyaan terkait dengan makna, pendasaran dan lanjutannya.” Dengan kata lain, yang mendorong lahirnya filsafat tidak hanya rasa kagum dan ingin tahu semata, tetapi juga kemampuan untuk bernalar dan memberikan pendasaran atas apa yang dikatakan. Kemampuan untuk memberikan pendasaran inilah yang menjadi ciri khas filsafat, yang membedakannya dengan agama dan mistik. Dari gabungan antara rasa kagum, rasa ingin tahu dan kemampuan bernalar untuk memberikan pendasaran atas pemikiran ini, filsafat lalu lahir, berkembang dan mendorong lahirnya beragam ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini.

Yang sudah pasti, anak-anak memiliki rasa kagum dan ingin tahu yang besar atas segala hal yang ada di dunia. Mereka memiliki rasa heran yang besar, yang mendorong mereka untuk menyentuh segala hal yang ada di sekitar mereka. Dengan kata lain, bakat berfilsafat adalah bakat alamiah yang dimiliki setiap anak, tanpa kecuali. Secara alamiah, anak juga memiliki kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan justru merupakan roh dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan adalah energi pendorong penelitian dan refleksi filosofis. Dalam arti ini, proyek anak-anak berfilsafat (Kinder Philosophieren) juga dapat dipahami sebagai usaha bersama untuk menjawab satu pertanyaan secara kritis, rasional dan reflektif. Tidak ada jawaban pasti yang sudah diberikan sebelumnya. Tidak ada jawaban final yang tidak bisa lagi dipertanyakan. Semuanya pertanyaan harus masuk ke dalam diskusi yang kritis, reflektif dan rasional yang kemudian dibuka lagi untuk pertanyaan lainnya. Proyek filsafat untuk anak-anak haruslah dilihat sebagai undangan dan kesempatan untuk berpikir bersama (zum gemeinsamen Nachdenken). Ia lahir dari rasa ingin tahu dan berakhir pada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Orang tua dan institusi sekolah maupun agama harus menunda semua jawaban pasti, dan membiarkan anak masuk ke dalam proses berpikir bersama yang bersifat terbuka.

Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini masih berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, jawaban atas semua pertanyaan sudah dirumuskan sebelumnya. Anak hanya perlu menghafal dan mengulang jawaban tersebut di dalam kertas ujian yang disediakan. Dari proses ini, kemampuan akademiknya diukur. Namun, sayangnya, proses semacam ini justru membunuh kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan asli yang menarik dan merangsang kedalaman berpikir juga dibunuh. Akibatnya, kemampuan berpikir anak menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir kritis, berpikir mandiri dan berpikir reflektif. Pendidikan di Indonesia pun disempitkan hanya pada semata pemberian pengetahuan. Anak dianggap kertas kosong yang kemudian diisi dengan berbagai macam informasi. Suasana semacam ini ditambah dengan keadaan banjir informasi yang dialami masyarakat sekarang ini, terutama dengan berkembangnya teknologi internet. Orang tak lagi mampu membedakan secara kritis dan rasional, informasi mana yang benar dan informasi yang merupakan gosip belaka. Padahal, tanpa kemampuan berpikir kritis, rasional dan reflektif, orang, terutama anak-anak, gampang sekali terbawa oleh hasutan bohong, dan kemudian dihasut. Kebohongan dan hasutan semacam ini lalu bisa mendorong terjadinya ketegangan dan konflik di masyarakat. Pendidikan yang hanya semata berfokus pada nilai ujian juga akan membunuh rasa tanggung jawab moral yang lahir dari kebebasan pribadi manusia.

Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak, menurut Zeitler, adalah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk berpikir, sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal. Peran orang dewasa tentu sangat besar dalam hal ini. Tugas orang dewasa adalah menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak untuk berfilsafat, guna mengembangkan kemampuan dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan tidak hanya di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi juga di dalam keluarga. Orang tua harus bekerja sama sepenuhnya dalam dialog dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang memiliki otoritas untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Yang kedua, minat anak juga harus dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak yang suka musik akan mudah untuk diajak berpikir filosofis tentang musik, karena itu langsung terkait dengan minatnya. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara sungguh-sungguh minat dan bakat anak.
Proses menarik minat anak untuk berfilsafat amatlah penting. Hanya dengan adanya minat, filsafat bisa menjadi cara berpikir dan bahkan cara hidup anak nantinya. “Ketika anak”, demikian tulis Zeitler, “memiliki perasaan, bahwa pertanyaan-pertanyaanya penting dan dianggap serius, maka budaya untuk berpikir bersama dan keinginan untuk mengajukan pertayaan lebih jauh bisa dikembangkan.” Yang perlu diingat adalah, filsafat merupakan upaya bersama untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada di dalam hidup manusia. Peran orang tua dan guru tentu juga harus dipikirkan ulang. Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Zeitler, figur Sokrates sebagai bapak filsafat perlu diperhatikan. Sokrates bukanlah orang yang tahu segalanya. Ia mengajak orang berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang mereka anggap sudah pasti. Ia melihat teman diskusinya sebagai orang yang setara, yang sama-sama mencari jawaban. Dalam hal proyek filsafat untuk anak, anak juga harus dilihat sebagai manusia yang setara, yang sama-sama mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Seringkali, anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang amat mendasar di dalam hidup. Misalnya, mengapa orang meninggal? Apakah ada hidup setelah kematian? Mengapa kita harus bekerja? Mengapa kita dilahirkan, dan sebagainya. Pada umumnya, orang dewasa sudah memiliki jawaban-jawaban dangkal atas pertanyaan itu, misalnya mengacu pada tradisi atau agama tertentu. Namun, dalam konteks filsafat, jawaban-jawaban dangkal semacam itu haruslah dihindari. Di dalam berfilsafat, tidak ada jawaban baku yang tak bisa diganggu gugat. Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari berbagai sudut pandang. Hal ini haruslah dilakukan sebagai suatu proses yang berkelanjutan, dan tidak boleh jatuh pada sikap dogmatis yang memberikan kepastian jawaban yang bersikap baku dan mutlak. Dalam hal ini, anak diajak untuk mengalami langsung, bagaimana pengetahuan berkembang (Erkenntnisfortschritt) melalui proses tanya jawab yang bersifat kritis, rasional dan reflektif.
Inti dari proyek filsafat untuk anak-anak adalah mengajak anak terlibat langsung di dalam proses dialog untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ada secara kreatif, rasional, kritis dan reflektif. Hal penting disini adalah kemampuan dari proses dialog tersebut untuk merangsang anak untuk berpikir lebih jauh dan lebih dalam tentang segala pertanyaan-pertanyaan yang ia punya. Oleh karena itu, isi dari proses dialog haruslah sesuatu yang dekat dengan kehidupan anak-anak. Setiap dialog dimulai dari pertanyaan, dan pertanyaan-pertanyaan adalah pintu masuk ke dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Kecenderungan orang dewasa di dalam pendidikan adalah memaksa anak untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitan langsung dengan hidup mereka. Proyek filsafat untuk anak-anak, dengan kata lain, harus dimulai dari pertanyaan anak yang langsung terkait dengan dunia mereka. Ini adalah poin yang amat penting. Proses terlibat di dalam dialog filosofis tentang suatu pertanyaan akan membawa anak pada praksis hidup filosofis. Dalam arti ini, filsafat tidak hanya sekedar menjadi teori untuk menjelaskan dunia, tetapi juga menjadi sebentuk jalan hidup.

Dialog filosofis juga berpijak pada beberapa keadaan, yakni adanya kesempatan yang besar untuk mengajukan pertanyaan (1), menjelaskan suatu ide (2), menjernihkan suatu ide melalui proses dialog (3), memberikan alasan atas suatu pendapat (4) dan mengajukan pertanyaan pada pendapat orang lain (5). Dua hal yang penting disini, yakni kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan orang lain, serta sikap hormat satu sama lain di antara para peserta dialog. Inilah yang disebut Zeitler sebagai “budaya dialog filosofis” (philosophische Gesprächkultur). Dengan proses ini, anak dan juga orang dewasa yang terlibat di dalam dialog akan terbiasa untuk memahami dan menanggapi konsep-konsep yang ada secara rasional dan analitis. Mereka juga akan terlatih berpikir dengan berpijak pada rasa hormat dan kemampuan untuk mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, dua dimensi langsung disentuh di dalam dialog semacam ini, yakni kemampuan intelektual dan kepekaan moral. Dengan dua hal ini, anak lalu terlatih untuk membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan berpijak pada akal budi dan moralitas. Secara alamiah, anak memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ini adalah modal yang besar untuk berfilsafat. Namun, mereka juga terlebih dahulu belajar untuk secara sistematis, kritis dan reflektif mengembangkan serta mengolah rasa ingin tahu mereka. Inilah salah satu peran dari proyek filsafat untuk anak-anak.

Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa tidak semua pertanyaan adalah pertanyaan filosofis yang bisa dibawa ke dalam dialog filosofis. Ada pertanyaan yang bersifat faktual dengan jawaban yang sudah jelas. Ada pertanyaan filosofis yang mengundang orang untuk berpikir lebih jauh dengan jawaban-jawaban yang masih berupa kemungkinan. Pertanyaan filosofis selalu mengundang rasa ingin tahu, baik untuk anak-anak, maupun orang dewasa. Pertanyaan filosofis membutuhkan informasi sebagai dasar, tetapi kemudian bergerak di ranah pendapat. Di ranah pendapat, orang mengalami perbedaan sudut pandang. Namun, setiap sudut pandang harus memiliki pendasaran yang masuk akal, yang bisa dimengerti oleh orang dari sudut pandang yang berbeda, walaupun mereka tidak selalu harus setuju. Prinsip terpenting disini adalah, bahwa setiap pertanyaan harus dihargai dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Ini adalah langkah pertama yang amat penting di dalam dialog filosofis, terutama dengan anak-anak. Dari langkah ini, proses berfilsafat lalu akan mengalir ke tempat-tempat yang tak terduga sebelumnya. Ia akan membuka kemungkinan-kemungkinan sudut pandang yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Sumber:
Zeitler, Katharina, “”Kinder philosophieren”–ein integratives Modell zur Sinnorientierung und Wertebildung”, Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, 2007, hal. 45-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar