Selasa, 12 Desember 2017

Kids Zaman Now

Kids Zaman Now (KZN) atau "anak-anak zaman sekarang", sepertinya tidak asing lagi di telinga kita kalimat ini. Entah dari mana kalimat tersebut pertama kali muncul, bak pasar kaget yang tiba-tiba ramai di masyarakat. Hangat diperbincangkan oleh seluruh elemen masyarakat. Rasanya "kuno" kalau kita tidak tahu istilah tersebut.

Kalau kita teliti lebih lanjut, secara sederhananya, tiga kalimat tersebut bisa dikatakan, bila anak-anak tersebut tidak melakukannya, maka anak-anak tersebut ketinggalan zaman. Dalam hal ini, bisa termasuk perbuatan apapun. Seperti; pacaran, mendengarkan lagu yang sedang populer, menggunakan handphone bermerek, drama dalam pertemanan, hang-out, dan lain-lain.

Seperti fenomena-fenomena sebelumnya, fenomena KZN akan hilang bak tertelan bumi. Atau lebih kerennya sudah tidak KZN (baca: jadul, kuno). Apapun itu, inilah yang terjadi di masyarakat. Fenomena demi fenomena datang silih berganti. Contoh beberapa bulan lalu ada fenomena meme seorang ketua DPR, Setya Novanto, KZN langsung membuat dan menyebarkan meme tersebut.

Ada satu hal yang cukup mendasar yang bisa kita petik dari fenomena ini yaitu sebab-akibat. Ini sama saja seperti konsep pembelajaran bahasa Indonesia saat kita bersekolah dulu. Kalimat Kids Zaman Now ini sebenarnya tidak ada arti apapun dan hanya sebuah kalimat saja. Lalu apakah yang akan terjadi? Tentu tidak akan terjadi apa-apa. Tetapi, bila kita masukkan pacaran, hedonisme, kekinian, tentu itu akan menjadi suatu hal yang besar.

Inilah yang dimaksud bahwa KZN sebenarnya membawa fenomena yang sudah ada sebelumnya. Kemudian dengan munculnya KZN, justru semakin menambah fenomena-fenomena itu menjadi booming. Contoh lah seperti pacaran yang sudah lama dilakukan oleh para remaja yang beranjak dewasa. Namun sebab ada KZN, trend pacaran jadi semakin booming dan karena gadget yang dipegang anak-anak pula, akhirnya mereka beranggapan itu hal yang keren. Jadilah anak-anak setingkat Sekolah Dasar sudah memiliki drama percintaan yang dramatis. Hal seperti ini yang membuat anggapan, bila tidak pacaran berarti ketinggalan zaman. Begitu juga dengan hedonisme dan kekinian serta perilaku lainnya.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap fenomena tersebut? Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, sekolah harus kembali lebih erat bekerja sama dengan orang tua siswa di rumah untuk bersama-sama merumuskan aturan penggunaan gadget, memberlakukan pembatasan waktu penggunaan gadget dan aturan lainnya yang dapat melindungi siswa dari hal negatif akibat gadget dan kecanduan gadget. Dengan kata lain, perlu kerja sama yang sinergi antara sekolah dan orang tua siswa dalam mengatas fenomena KZN ini. Kedua, 

Dari pengaruh baik dan buruknya fenomena KZN ini tetap saja harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, terlebih orang tua. Orang tua sebagai institusi yang paling kecil dan paling dekat dengan kita harus menjadi pengawas bagi pengaruh fenomena-fenomena sejenis yang akan datang.

Orang tua memberikan bimbingan mana yang patut dicontoh dan mana yang buruk harus dihindari adalah langkah awal yang perlu dilakukan. Sementara itu lembaga pemerhati anak dan semacamnya juga bisa turut berperan memberikan wejangan terkait fenomena-fenomena yang sedang naik daun. Seperti yang dilakukan Kak Seto sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak ia menyampaikan wejangan tentang KZN bahwa fenomena seperti ini harus diisi dengan hal positif.

Pihak sekolah tidak kalah pentingnya bersinergi dengan orang tua untuk bersama-sama merumuskan aturan penggunaan gadget, memberlakukan pembatasan waktu penggunaan gadget dan aturan lainnya yang dapat melindungi siswa dari hal negatif akibat gadget dan kecanduan gadget. Dengan kata lain, perlu kerja sama yang sinergi antara sekolah dan orang tua siswa dalam mengatas fenomena KZN ini.

Disisi lain fenomena-fenomena seperti ini tidak juga harus dibatasi penuh. Tetapi apabila bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif seperti yang saya katakan diawal, maka tidak salah dilakukan. Karena anak-anak pun dan bahkan semua orang butuh aktualisasi diri dan hiburan bukan? Tetapi alangkah baiknya jika aktualisasi diri dan hiburan yang dibuat adalah yang berbobot, mendidik dan tidak berpengaruh buruk.

Senin, 26 Desember 2016

Karakteristik Filsafat

Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfikir filsafat mempunyai karakteristik atau ciri-ciri khusus. Bermacam-macam buku menjelaskan cirri-ciri berfikir filsafat dengan bermacam-macam pula. Tidak lain diantaranya akan dijelaskan sebagai berikut. 

1. Konsepsional 

Perenungan filsafat berusaha untuk menyusun suatu bagian konsepsional. Konsepsi (rencana) merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu. Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses dalam hubungan umum. Diantara proses-proses yang dibicarakan ini dalam pemikiran itu sendiri. 

2. Koheren 

Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu bagan yang koheren yang konsepsional. Secara singkat istilah kohern ialah runtut. Bagan konsepsional yang merupakan hasil perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut. Dalam arti lain koheren bisa juga dikatakan berfikir sistematis, artinya berfikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran. Dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Secara singkat, kohern berarti berfilsafat yang berusaha menyusun suatu bagan secara runtut 

3. Memuburu kebenaran 

Filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu. Kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan. 

4. Radikal 

Berfilsafat berarti berfikir radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berfikir secara radikal, ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan realitas seluruh kenyataan, berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk ke dalamnya sehingga ia pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri. Telah jelas bahwa artinya berfikir radikal bisa diartikan berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak setengah-setengah, tidak berhenti di jalan tetap terus sampai ke ujungnya. Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang atau menjungkirbalikkkan segala sesuatu, melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berfikir secara mendalam. Untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berfikir radikal justru hendak memperjelas realitas. 

5. Rasional 

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bahan konsepsional yang bersifat rasional. Yang dimaksudkan dengan bagan konsepsionl yang bersifat rasional ialah bagan yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang lain. Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis, dan kritis berpikir logis adalah bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan. Berpikir logis yang menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis ialah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Berfikir kritis berarti membakar kemampuan untuk terus menerus mengevaluasi argument-argumen yang mengklaim diri benar. Seorang yang berpikir kritis tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu. Berpikir logis, sistematis – kritis adalah ciri utama berfikir rasional. 

6. Menyeluruh 

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup maupun diri kita sendiri. Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, dalam arti tidak ada sesuatu pun yang berada di luar jangkauannya jika tidak demikian, filsafat akan ditolak serta dikatakan berat sebelah dan tidak memadai. Berfikir universal tidak berpikir khusus, terbatas pad bagian-bagian tertentu, namun mencakup secara keseluruhan. Berpikir filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta, tidak terpotong-potong. Pemikiran yang tidak hanya berdasarkan pada fakta yaitu tidak sampai kesimpulan khusus tetapi sampai pada kesimpulan yang paling umum. Sampai kepada kesimpulan yang paling umum bagi seluruh umat manusia di manapun kapanpun dan dalam keadaan apapun. 

Sumber: 

Salam, Burhanuddin, pengantar filsafat Jakarta: bumi aksara 1995.

Pembagian filsafat

Pada tahap awal kelahiran filsafat apa yang disebut filsafat itu sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan kemudian filsafat itu berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat.

Bidang-bidang studi filsafat juga disebut sebagai cabang-cabang filsafat pembagian bidang-bidang studi atau cabang-cabang filsafat, sejak kelahirannya hingga pada masa kini, tidak pernah sama kendati itu tidak berarti sama sekali berbeda. Jika disimak dengan cermat, sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senantiasa memiliki kesamaan satu sama lain.

Aristoteles membagi filsafat ke dalam tiga bidang studi sebagai berikut:

a. Filsafat Spekulatif atau Teoritis

Filsafat spekulatif atau teoritis bersifat objektif. Termasuk dalam bidang ini ialah fisika, metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat spekulatif ialah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.

b. Filsafat Praktika

Filsafat praktika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Termasuk dalam bidang ini ialah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktika ialah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu.

c. Filsafat Produktif

Filsafat produktif ialah pengetahuan yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus. Termasuk dalam bidang ini ialah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini ialah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

Sumber:

Rapar, Jon hendrik, pengantar filsafat. yogyakarta: kanisius 1996.

Ciri-ciri Berfikir Filsafat

Ciri-ciri Berfikir Filsafat
Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional, maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan.
1. Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya adalah berfikir sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.

2. Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu”?

4. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut.
5. Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6. Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.

7. Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi, sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.

8. Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan.

Sumber:


Juhaya S Praja, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika, Kencana : Jakarta

Suparlan Suhartono, 2004, Dasar-Dasar Filsafat, Ar Ruzz Media : Yogyakarta

Surojiyo, 2003, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara : Jakarta

Sikap Manusia Terhadap Filsafat

Sesuai dengan macam-macam dan perbedaan pengertian mereka terhadap arti kata filsafat, maka dapat digolongkan menjadi: 
  1. Pandangan yang berpendapat bahwa setiap mendengar kata “ filsafat “ maka yang ada dalam bayangan mereka adalah sesuatu yang ruwet dan sulit. Yang dalam yang hanya dapat dipahami oleh orang tertentu saja. 
  2. Pandangan yang bersifat skeptis, yakni orang-orang yang berpendapat bahwa filsafat adalah sesuatu perbuatan yang tidak ada gunanya. 
  3. Pandangan yang bersifat negatif karena mengambil manfaat secara negatif, dengan mengatakan dengan berfilsafat adalah bermain api atau berbahaya. Karena pengertian filsafat hanya dibatasi pada pengertian mencari hakikat Tuhan. 
  4. Golongan yang memandang dari sudut positif, yakni filsafat adalah suatu lapangan studi, tempat melatih akal untuk berpikir. Jadi setiap manusia mempunyai kemungkinan untuk berfilsafat kenyataan kehidupan sehari-hari baik sebagai individu ataupun sebagai anggota masyarakat. 
  5. Bila memiliki filsafat hidup, pandangan hidup akan menjadi mantap yang akhirnya menentukan criteria baik buruknya tingkah laku, yang dipilih atas dasar keputusan batin sendiri. Jadi manusia telah memiliki kebebasan dan kepribadian sendiri. 
  6. Kehidupan dan penghidupan ke arah gejala yang negatif dalam keadaan masyarakat yang serba tidak pasti akan dapat dikurangi. 
  7. Tingkah laku manusia pada dasarnya ditentukan oleh filsafat hidupnya, maka manusia terus berusaha memiliki filsafat agar tingkah lakunya berguna. 
Sumber: 
  • Ihsan, hamdani dan Ihsan fuad. filsafat pendidikan islam. Bandung. Pustaka Setia.2001 
  • Zuhairini.filsafat pendiikan islam. Jakarta. Bumi Askara. 2009 




Objek dan Sudut Pandang Filsafat

Berpikir merupakan subjek dari filsafat pendidikan. Akan tetapi, tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Subyek filsafat pendidikan adalah seseorang yang berpikir atau memikirkan hakikat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam tentang bagaimana memperbaiki pendidikan. 

Obyek filsafat, obyek itu dapat berupa suatu barang atau subyek itu sendiri. Obyek filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 
  1. Obyek materi, yaitu segala sesuatu atau realita, ada yang harus ada (disebut dengan absoluth/ mutlak, yaitu Sang Pencipta) dan ada yang tidak harus ada (mahluk yang diciptakan Tuhan). 
  2. Obyek formal/ sudut pandang, yaitu mencari keterangan sedalam-dalamnya, sampai keakarnya persoalan sampai kepada sebab-sebab terakhir tentang objek materi filsafat, sepanjang kemungkinan yang ada pada akal budi manusia. 
Pandangan atau sudut pandang yang berbeda terhadap suatu obyek akan melahirkan filsafat yang berbeda-beda. Misalnya, mengambil manusia sebagai obyeknya. Jika dilihat dari segi jiwanya saja, maka akan muncul filsafat tentang jiwa manusia, yang disebut Psikologi. Jika dilihat dari segi rasa, muncul filsafat yang disebut estetika. Jika dilihat dari segi akal manusia, muncul filsafat yang dikenal Logika. 

Pandangan mengenai hasil dari usaha manusia menyangkut akal, rasa dan kehendak dapat dijadikan satu, yang disebut filsafat kebudayaan. Sebab kebudayaan menyangkut ketiga segi dan alat-alat kejiwaan manusia tadi. 

Selanjutnya, jika ilmu pengetahuan yang menjadi menjadi objek filsafat maka menjadi filsafat ilmu pengetahuan. Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya. Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah: 
  1. Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan. 
  2. Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya. 
  3. Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. 
  4. Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya. 
Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut: 
  1. Cosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, serta proses kejadian kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya. 
  2. Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat (dualisme) atau banyak zat (pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat kebendaan, maka paham ini disebut materialisme. 
Sumber: 
  • Ihsan, hamdani dan Ihsan fuad. filsafat pendidikan islam. Bandung. Pustaka Setia.2001 
  • Zuhairini.filsafat pendiikan islam. Jakarta. Bumi Askara. 2009 




Problem Esensial Filsafat dan Pendidikan

Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Lodge mengatakan bahwa seluruh proses dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pendidikan baginya.

Kependidikan memiliki ruang lingkup yang luas, karena menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, ada banyak permasalah pendidikan yang dihadapi. Permasalahan pendidikan ada yang sederhana yang menyangkut praktik dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi ada pula di antaranya yang menyangkut masalah ang bersifat mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga banyak menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin terjawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat. 

Beberapa contoh permasalahan pendidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya adalah: 
  1. Apakah pendidikan bermanfaat atau berguna membina kepribadian manusia atau tidak? Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian ataukah faktor luar? Mengapa anak yang potensi hereditasnya relatif baik, tanpa pendidikan dan lingkungan yang baik tidak mencapai perkembangan kepribadian sebagaimana diharapkan? 
  2. Apakah tujuan pendidikan itu sesungguhnya? Apakah pendidikan berguna bagi individu sebdiri atau untuk kepentingan sosial; apakah pendidikan itu dipusatkan pada pembinaan manusia pribadi atau masyarakat? 
  3. Apakah hakikat masyarakat itu dan bagaimanakah kedudukan individu di dalam masyarakat? 
  4. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal, apakah pendidikan yang diutamakan, yang relevan dengan pembinaan kepribadian sehingga cakap memangku suatu jabatan di masyarakat? 
  5. Bagaimana asas penyelengaraan pendidikan yang baik, sentralisasi, desentralisasi atau otonomi? 
Masalah-masalah tersebut hanyalah sebagian dapi problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis. Dalam memecahkan masalah tersebut, analisa filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan yang sesuai dengan permasalahannya. Di antaranya pendekatan yang digunakan antara lain:
1.Pendekatan secara spekulatif

Pendekatan ini disebut juga pendekatan reflektif, yang berrati memikirkan, mempertimbangkan, juga membayangkan dan menggambarkan. Dengan teknik pendekatan ini, dimaksudkan adalam memikirkan, mempertimbangkan, dan menggambarkan tentang sesuatu obyek untuk mencari hakikat yang sebenarnya. Masalah pendidikan memang berhubungan dengan hal-hal yang harus diketahui hakikatnya, seperti apakah hakikat mendidik dan pendidikan, hakikat manusia, hakikat manusia, masyarakat, kepribadian, kurikulum, kedewasaan, dan sebagainya.

2) Pendekatan normatif

Yaitu nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan, juga merupakan masalah kependidikan. Dengan pendekatan ini, diharapkan untuk berusaha memahami nilai-nilai norma yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia dalam proses kehidupan, serta bagaimana hubungan nilai dan norma tersebut dengan pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan petunjuk-petunjuk ke arah mana usaha pendidikan akan diarahkan.

3) Pendekatan analisa konsep

Artinya, pengertian, atau tangkapan seseorang terhadap suatu obyek. Setiap orang memiliki pengertian atau penangkapan yang berbeda-beda mengenai suatu hal yang sama. Dengan pendekatan ini, diharapkan untuk memahami konsep dari para ahli pendidikan tentang bagaimana masalah yang berhubungan dengan pendidikan.

4) Analisa ilmiah

Sasaran pendekatan ini adalah masalah-masalah kependidikan yang aktual, yang menjadi problema di masa kini. Dengan menggunakan metode-metode ilmiah, dapat didiskripsikan dan kemudian dipahami permasalah-permasalahan yang hidup dalam masyarakat dan dalam proses pendidikan serta aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.

Selanjutnya, menurut Harry Schofield, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bernadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menekankan bahwa analisa filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan digunakan dua macam pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan filsafat historis

Yaitu dengan cara mengadakan deteksi dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diajukan, mana-mana yang telah mendapat jawaban dari para ahli filsafat sepanjang sejarah. Dari jawaban-jawaban yang ada, dapat dipilih jawaban mana yang sekiranya sesuai dan dibutuhkan.

2) Pendekatan filsafat kritis

Yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan diusahakan jawabannya secara filosofis pula. Analisa dalam pendekatan filsafat kritis adalah:

1) Analisa bahasa (linguistik)

Analisa bahasa adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut pendapat-pendapat mengenai makna yang dimilikinya.

2) Analisa konsep

Sedangkan analisa konsep adalah suatu analisa mengenai istilah-istilah (kata-kata) yang mewakili gagasan.

Sumber:
  • Ihsan, hamdani dan Ihsan fuad. filsafat pendidikan islam. Bandung. Pustaka Setia.2001 
  • Zuhairini.filsafat pendiikan islam. Jakarta. Bumi Askara. 2009