Sabtu, 10 Desember 2016

Pendidikan filsafat Untuk Anak Indonesia

Guna melihat kemungkinan penerapan program filsafat untuk anak di Indonesia, kita setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan pendidikan Indonesia sekarang ini. Sejauh pengamatan saya, dunia pendidikan Indonesia saat ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme. Dalam arti ini, dogmatisme adalah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai mutlak yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai ini pantas unutk mendapat hukuman. Bentuk dogmatisme pertama adalah dogmatisme nilai akademik. Nilai akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan. Anak yang mendapat nilai jelek akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai pemalas dan bodoh. Ini akan mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya sebagai manusia.

Bentuk dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama. Ajaran-ajaran agama tertentu diselipkan di dalam berbagai mata pelajaran sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Segala bentuk pertanyaan dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, maka harus dihilangkan. Anak dipaksa untuk menghafal segala yang ada dibuku dan yang diucapkan guru, lalu diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif pun tidak berkembang, namun justru mati di dalam proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik dan dogmatisme agama ini menyebar begitu luas sekaligus tertanam begitu dalam di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara berpikir dan korupsi di tingkat sistem politik pendidikan Indonesia membuatnya tidak mampu membentuk sumber daya manusia yang bermutu.

Dua bentuk dogmatisme di atas menghasilkan manusia-manusia patuh. Mereka tidak terbiasa untuk berpikir mandiri. Mereka hanya terbiasa untuk mengikuti perintah dan kebiasaan yang ada, tanpa sikap kritis. Tak heran, mereka mudah sekali terpengaruh oleh budaya terorisme yang menggunakan agama sebagai topengnya. Mereka juga miskin kreativitas. Akibatnya, mereka hanya menjadi konsumen pasif yang suka membeli barang, namun tak pernah ada pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru. Inilah yang disebut juga sebagai budaya konformis. Orang hanya mengikuti apa yang ada, tanpa pernah mempertanyakan apa yang ia dengar dan lihat secara kritis. Musuh dari budaya dogmatis dan konformis semacam ini adalah filsafat, yakni filsafat yang tidak terjebak menjadi pembenaran bagi ajaran-ajaran tertentu.

Program filsafat untuk anak hendak memperkenalkan filsafat pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Program ini telah diterapkan di berbagai negara Eropa. Saya berpendapat, bahwa program ini juga cocok diterapkan di Indonesia, terutama untuk memerangi segala bentuk dogmatisme dan konformitas yang kini menyebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di dalam pola hidup orang Indonesia. Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, jika diterapkan sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa mengajarkan orang keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan menganalisis dan menyelesaikan masalah melalui proses berpikir yang rasional, kritis, reflektif dan sistematik. Pendek kata, filsafat bisa menjadi alat untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Orang perlu untuk belajar tentang hal ini sejak ia kecil, sehingga ia terbiasa untuk memecahkan berbagai persoalan yang ia hadapi dengan tepat.

Kedua, filsafat juga menjadi alat untuk melakukan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu ditekankan, bahwa nilai disini bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu. Filsafat tidak boleh hanya menjadi alat penyebaran ajaran agama atau tradisi tertentu. Pendidikan nilai di dalam filsafat berarti berusaha melampaui nilai baik dan buruk yang ada di dalam agama ataupun tradisi. Melampaui disini berarti mengajukan pertanyaan dan penalaran kritis atas nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Dengan pertanyaan dan penalaran kritis, dogmatisme nilai, baik dalam bentuk dogmatisme nilai akademik maupun dogmatisme agama, bisa dilampaui. Ini adalah hal yang amat penting untuk Indonesia sekarang ini. Di sisi lain, pendidikan nilai di dalam filsafat juga bisa mencegah orang masuk ke dalam relativisme. Orang diajak untuk memiliki prinsip hidup, tanpa menjadikan prinsip hidup itu sebagai pegangan mutlak yang tak bisa dan tak boleh diubah.

Ketiga, filsafat juga bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterbukaan berpikir di Indonesia. Keterbukaan berpikir adalah suatu keutamaan yang tidak datang dari teori ataupun khotbah-khotbah moral, melainkan dari kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa terbentuk, jika orang sering melakukannya. Filsafat bisa membentuk keterbukaan berpikir, jika ia dilakukan secara rutin dan sejak usia dini. Program filsafat untuk di Indonesia bisa mendorong terciptanya sikap keterbukaan berpikir bagi anak-anak Indonesia. Keempat, di sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta sikap yang tidak dogmatis, filsafat juga bisa melatih orang untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal dalam hidupnya. Sejak tingkat sekolah dasar, anak diajak untuk memberikan alasan dan pendasaran bagi pernyataan maupun tindakannya. Dengan latihan semacam ini, anak akan terbiasa untuk berpikir secara rasional terlebih dahulu, sebelum ia melakukan sesuatu. Pola semacam jelas amat dibutuhkan di Indonesia.

Lima, Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di dalamnya. Ini merupakan fakta sejarah yang selalu menempel di dalam identitas bangsa Indonesia. Kemampuan untuk berpikir terbuka jelas amat diperlukan, supaya hidup bersama bisa berjalan dengan baik. Filsafat dapat mendorong proses pendidikan nilai-nilai kehidupan yang menunjang perdamaian di dalam masyarakat multikultur, seperti Indonesia. Enam, sikap kritis dan rasional yang menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari berkembangnya budaya konsumtivisme. Konsumtivisme adalah paham yang menyatakan, bahwa tujuan utama dari semua tindakan manusia adalah meningkatkan kemampuannya untuk membeli barang-barang yang ada. Barang-barang tersebut tidak hanya menentukan status sosialnya di masyarakat, tetapi juga citra diri pribadinya sebagai manusia. Konsumtivisme jelas merupakan pandangan yang salah, karena dia menyingkirkan semua nilai-nilai lainnya yang penting bagi hidup manusia. Namun, sayangnya, pandangan ini telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Filsafat dengan daya kritis dan rasionalnya bisa menjadi tanggapan kritis atas gaya hidup konsumtif semacam ini.

Tujuh, indonesia adalah negara demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan dibangun di atas dialog dan kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang untuk mampu berpikir, berdialog, berpendapat dan mencapai kesepakatan secara bersama. Program filsafat untuk anak membentuk kemampuan ini sejak usia dini, sehingga bisa menjadi bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari. Delapan, untuk membuat keputusan yang tepat, orang membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga harus mampu menganalisis berbagai informasi tersebut secara kritis dan rasional. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, Indonesia kini mengalami banjir informasi. Orang pun kesulitan membedakan antara informasi yang tepat dan gosip ataupun fitnah. Filsafat bisa membantu orang untuk bersikap kritis terhadap segala informasi yang ada, supaya ia tidak terjebak pada gosip ataupun fitnah, ketika hendak membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Pendidikan filsafat untuk anak bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis ini sejak usia dini, sehingga anak tidak terjebak pada informasi yang salah. Ini jelas amat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Informasi tanpa sikap kritis dan rasional untuk mengolahnya justru akan menciptakan kesalahpahaman dan masalah-masalah lainnya bagi hidup manusia.

Sembilan, inti dari program filsafat untuk anak yang sudah diterapkan di berbagai negara Eropa adalah metode Sokrates. Inti dari metode ini adalah dukungan kepada anak untuk berpikir mandiri dan menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki. Banyak sekali keutamaan yang muncul di dalam metode ini, mulai dari kreativitas berpikir sampai kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Sistem pendidikan di Indonesia akan bisa berkembang pesat, jika menggunakan metode Sokrates semacam ini. Filsafat, dalam arti ini, tidak boleh hanya menjadi satu mata pelajaran resmi, atau mata pelajaran tambahan semata. Ia juga perlu menjadi paradigma pendidikan yang menjelma di dalam berbagai mata pelajaran yang ada, dan juga di dalam hubungan antara murid dan guru. Pendek kata, filsafat, dengan metode Sokratesnya, perlu menjadi roh dari sistem pendidikan di Indonesia. Program filsafat untuk anak tidak hanya merupakan satu model pendidikan, melainkan juga inti dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia akan berkembang pesat, jika menerapkan program ini secara tepat.

Sumber:
Wattimena, Reza A.A., Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar