Guna melihat kemungkinan penerapan program filsafat
untuk anak di Indonesia, kita setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan
pendidikan Indonesia sekarang ini. Sejauh pengamatan saya, dunia pendidikan Indonesia
saat ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme. Dalam arti ini, dogmatisme
adalah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai mutlak yang
tidak dapat dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai ini pantas
unutk mendapat hukuman. Bentuk dogmatisme pertama adalah dogmatisme nilai
akademik. Nilai akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan. Anak
yang mendapat nilai jelek akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan
yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai pemalas dan bodoh. Ini akan
mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya sebagai manusia.
Bentuk dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama.
Ajaran-ajaran agama tertentu diselipkan di dalam berbagai mata pelajaran
sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Segala bentuk
pertanyaan dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, maka harus
dihilangkan. Anak dipaksa untuk menghafal segala yang ada dibuku dan yang
diucapkan guru, lalu diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian.
Pikiran kritis dan kreatif pun tidak berkembang, namun justru mati di dalam
proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik dan dogmatisme agama ini menyebar
begitu luas sekaligus tertanam begitu dalam di dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara berpikir dan korupsi di tingkat sistem
politik pendidikan Indonesia membuatnya tidak mampu membentuk sumber daya
manusia yang bermutu.
Dua bentuk dogmatisme di atas menghasilkan
manusia-manusia patuh. Mereka tidak terbiasa untuk berpikir mandiri. Mereka
hanya terbiasa untuk mengikuti perintah dan kebiasaan yang ada, tanpa sikap
kritis. Tak heran, mereka mudah sekali terpengaruh oleh budaya terorisme yang
menggunakan agama sebagai topengnya. Mereka juga miskin kreativitas. Akibatnya,
mereka hanya menjadi konsumen pasif yang suka membeli barang, namun tak pernah
ada pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru. Inilah yang disebut juga
sebagai budaya konformis. Orang hanya mengikuti apa yang ada, tanpa pernah
mempertanyakan apa yang ia dengar dan lihat secara kritis. Musuh dari budaya
dogmatis dan konformis semacam ini adalah filsafat, yakni filsafat yang tidak
terjebak menjadi pembenaran bagi ajaran-ajaran tertentu.
Program filsafat untuk anak hendak memperkenalkan
filsafat pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Program ini telah diterapkan
di berbagai negara Eropa. Saya berpendapat, bahwa program ini juga cocok
diterapkan di Indonesia, terutama untuk memerangi segala bentuk dogmatisme dan
konformitas yang kini menyebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di dalam
pola hidup orang Indonesia. Ada sembilan hal yang kiranya perlu
diperhatikan. Pertama, jika diterapkan
sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa mengajarkan orang
keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan menganalisis dan
menyelesaikan masalah melalui proses berpikir yang rasional, kritis, reflektif
dan sistematik. Pendek kata, filsafat bisa menjadi alat untuk memecahkan
berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Orang perlu untuk
belajar tentang hal ini sejak ia kecil, sehingga ia terbiasa untuk memecahkan
berbagai persoalan yang ia hadapi dengan tepat.
Kedua, filsafat
juga menjadi alat untuk melakukan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu
ditekankan, bahwa nilai disini bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu.
Filsafat tidak boleh hanya menjadi alat penyebaran ajaran agama atau tradisi
tertentu. Pendidikan nilai di dalam filsafat berarti berusaha melampaui nilai
baik dan buruk yang ada di dalam agama ataupun tradisi. Melampaui disini
berarti mengajukan pertanyaan dan penalaran kritis atas nilai-nilai yang sudah
ada sebelumnya. Dengan pertanyaan dan penalaran kritis, dogmatisme nilai, baik
dalam bentuk dogmatisme nilai akademik maupun dogmatisme agama, bisa dilampaui.
Ini adalah hal yang amat penting untuk Indonesia sekarang ini. Di sisi lain,
pendidikan nilai di dalam filsafat juga bisa mencegah orang masuk ke dalam
relativisme. Orang diajak untuk memiliki prinsip hidup, tanpa menjadikan
prinsip hidup itu sebagai pegangan mutlak yang tak bisa dan tak boleh diubah.
Ketiga, filsafat
juga bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterbukaan berpikir di Indonesia.
Keterbukaan berpikir adalah suatu keutamaan yang tidak datang dari teori
ataupun khotbah-khotbah moral, melainkan dari kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa
terbentuk, jika orang sering melakukannya. Filsafat bisa membentuk keterbukaan
berpikir, jika ia dilakukan secara rutin dan sejak usia dini. Program filsafat
untuk di Indonesia bisa mendorong terciptanya sikap keterbukaan berpikir bagi
anak-anak Indonesia. Keempat, di
sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta sikap yang tidak dogmatis,
filsafat juga bisa melatih orang untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk
akal dalam hidupnya. Sejak tingkat sekolah dasar, anak diajak untuk memberikan
alasan dan pendasaran bagi pernyataan maupun tindakannya. Dengan latihan
semacam ini, anak akan terbiasa untuk berpikir secara rasional terlebih dahulu,
sebelum ia melakukan sesuatu. Pola semacam jelas amat dibutuhkan di Indonesia.
Lima, Indonesia
adalah bangsa yang multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di
dalamnya. Ini merupakan fakta sejarah yang selalu menempel di dalam identitas
bangsa Indonesia. Kemampuan untuk berpikir terbuka jelas amat diperlukan,
supaya hidup bersama bisa berjalan dengan baik. Filsafat dapat mendorong proses
pendidikan nilai-nilai kehidupan yang menunjang perdamaian di dalam masyarakat
multikultur, seperti Indonesia. Enam, sikap kritis
dan rasional yang menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari
berkembangnya budaya konsumtivisme. Konsumtivisme adalah paham yang menyatakan,
bahwa tujuan utama dari semua tindakan manusia adalah meningkatkan kemampuannya
untuk membeli barang-barang yang ada. Barang-barang tersebut tidak hanya
menentukan status sosialnya di masyarakat, tetapi juga citra diri pribadinya
sebagai manusia. Konsumtivisme jelas merupakan pandangan yang salah, karena dia
menyingkirkan semua nilai-nilai lainnya yang penting bagi hidup manusia. Namun,
sayangnya, pandangan ini telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Filsafat
dengan daya kritis dan rasionalnya bisa menjadi tanggapan kritis atas gaya
hidup konsumtif semacam ini.
Tujuh, indonesia
adalah negara demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan
dibangun di atas dialog dan kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang
untuk mampu berpikir, berdialog, berpendapat dan mencapai kesepakatan secara
bersama. Program filsafat untuk anak membentuk kemampuan ini sejak usia dini,
sehingga bisa menjadi bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari. Delapan, untuk membuat keputusan yang tepat, orang
membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga harus mampu menganalisis berbagai
informasi tersebut secara kritis dan rasional. Dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang begitu cepat, Indonesia kini mengalami banjir
informasi. Orang pun kesulitan membedakan antara informasi yang tepat dan gosip
ataupun fitnah. Filsafat bisa membantu orang untuk bersikap kritis terhadap
segala informasi yang ada, supaya ia tidak terjebak pada gosip ataupun fitnah,
ketika hendak membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Pendidikan
filsafat untuk anak bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis ini sejak usia
dini, sehingga anak tidak terjebak pada informasi yang salah. Ini jelas amat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Informasi tanpa sikap kritis
dan rasional untuk mengolahnya justru akan menciptakan kesalahpahaman dan
masalah-masalah lainnya bagi hidup manusia.
Sembilan,
inti dari program filsafat untuk anak yang sudah diterapkan di berbagai negara
Eropa adalah metode Sokrates. Inti dari metode ini adalah dukungan kepada anak
untuk berpikir mandiri dan menemukan jawabannya sendiri atas
pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki. Banyak sekali keutamaan yang muncul di
dalam metode ini, mulai dari kreativitas berpikir sampai kemampuan untuk
mendengarkan orang lain. Sistem pendidikan di Indonesia akan bisa berkembang
pesat, jika menggunakan metode Sokrates semacam ini. Filsafat, dalam arti ini,
tidak boleh hanya menjadi satu mata pelajaran resmi, atau mata pelajaran
tambahan semata. Ia juga perlu menjadi paradigma pendidikan yang menjelma di
dalam berbagai mata pelajaran yang ada, dan juga di dalam hubungan antara murid
dan guru. Pendek kata, filsafat, dengan metode Sokratesnya, perlu menjadi roh
dari sistem pendidikan di Indonesia. Program filsafat untuk anak tidak
hanya merupakan satu model pendidikan, melainkan juga inti dari pendidikan itu
sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia akan berkembang pesat, jika menerapkan
program ini secara tepat.
Sumber:
Wattimena, Reza A.A., Filsafat sebagai Revolusi Hidup,
Kanisius, Yogyakarta, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar