Selasa, 12 Desember 2017

Kids Zaman Now

Kids Zaman Now (KZN) atau "anak-anak zaman sekarang", sepertinya tidak asing lagi di telinga kita kalimat ini. Entah dari mana kalimat tersebut pertama kali muncul, bak pasar kaget yang tiba-tiba ramai di masyarakat. Hangat diperbincangkan oleh seluruh elemen masyarakat. Rasanya "kuno" kalau kita tidak tahu istilah tersebut.

Kalau kita teliti lebih lanjut, secara sederhananya, tiga kalimat tersebut bisa dikatakan, bila anak-anak tersebut tidak melakukannya, maka anak-anak tersebut ketinggalan zaman. Dalam hal ini, bisa termasuk perbuatan apapun. Seperti; pacaran, mendengarkan lagu yang sedang populer, menggunakan handphone bermerek, drama dalam pertemanan, hang-out, dan lain-lain.

Seperti fenomena-fenomena sebelumnya, fenomena KZN akan hilang bak tertelan bumi. Atau lebih kerennya sudah tidak KZN (baca: jadul, kuno). Apapun itu, inilah yang terjadi di masyarakat. Fenomena demi fenomena datang silih berganti. Contoh beberapa bulan lalu ada fenomena meme seorang ketua DPR, Setya Novanto, KZN langsung membuat dan menyebarkan meme tersebut.

Ada satu hal yang cukup mendasar yang bisa kita petik dari fenomena ini yaitu sebab-akibat. Ini sama saja seperti konsep pembelajaran bahasa Indonesia saat kita bersekolah dulu. Kalimat Kids Zaman Now ini sebenarnya tidak ada arti apapun dan hanya sebuah kalimat saja. Lalu apakah yang akan terjadi? Tentu tidak akan terjadi apa-apa. Tetapi, bila kita masukkan pacaran, hedonisme, kekinian, tentu itu akan menjadi suatu hal yang besar.

Inilah yang dimaksud bahwa KZN sebenarnya membawa fenomena yang sudah ada sebelumnya. Kemudian dengan munculnya KZN, justru semakin menambah fenomena-fenomena itu menjadi booming. Contoh lah seperti pacaran yang sudah lama dilakukan oleh para remaja yang beranjak dewasa. Namun sebab ada KZN, trend pacaran jadi semakin booming dan karena gadget yang dipegang anak-anak pula, akhirnya mereka beranggapan itu hal yang keren. Jadilah anak-anak setingkat Sekolah Dasar sudah memiliki drama percintaan yang dramatis. Hal seperti ini yang membuat anggapan, bila tidak pacaran berarti ketinggalan zaman. Begitu juga dengan hedonisme dan kekinian serta perilaku lainnya.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap fenomena tersebut? Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, sekolah harus kembali lebih erat bekerja sama dengan orang tua siswa di rumah untuk bersama-sama merumuskan aturan penggunaan gadget, memberlakukan pembatasan waktu penggunaan gadget dan aturan lainnya yang dapat melindungi siswa dari hal negatif akibat gadget dan kecanduan gadget. Dengan kata lain, perlu kerja sama yang sinergi antara sekolah dan orang tua siswa dalam mengatas fenomena KZN ini. Kedua, 

Dari pengaruh baik dan buruknya fenomena KZN ini tetap saja harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, terlebih orang tua. Orang tua sebagai institusi yang paling kecil dan paling dekat dengan kita harus menjadi pengawas bagi pengaruh fenomena-fenomena sejenis yang akan datang.

Orang tua memberikan bimbingan mana yang patut dicontoh dan mana yang buruk harus dihindari adalah langkah awal yang perlu dilakukan. Sementara itu lembaga pemerhati anak dan semacamnya juga bisa turut berperan memberikan wejangan terkait fenomena-fenomena yang sedang naik daun. Seperti yang dilakukan Kak Seto sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak ia menyampaikan wejangan tentang KZN bahwa fenomena seperti ini harus diisi dengan hal positif.

Pihak sekolah tidak kalah pentingnya bersinergi dengan orang tua untuk bersama-sama merumuskan aturan penggunaan gadget, memberlakukan pembatasan waktu penggunaan gadget dan aturan lainnya yang dapat melindungi siswa dari hal negatif akibat gadget dan kecanduan gadget. Dengan kata lain, perlu kerja sama yang sinergi antara sekolah dan orang tua siswa dalam mengatas fenomena KZN ini.

Disisi lain fenomena-fenomena seperti ini tidak juga harus dibatasi penuh. Tetapi apabila bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif seperti yang saya katakan diawal, maka tidak salah dilakukan. Karena anak-anak pun dan bahkan semua orang butuh aktualisasi diri dan hiburan bukan? Tetapi alangkah baiknya jika aktualisasi diri dan hiburan yang dibuat adalah yang berbobot, mendidik dan tidak berpengaruh buruk.