Senin, 28 November 2016

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

Menurut tinjauan hukum, kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
  1. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
  2. Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
  1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
  2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual, yaitu:

Pasal 81
  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” (UU Perlindungan Anak).

Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa siswa wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.

Pasal 54

“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”(UU Perlindungan Anak).

Menurut tinjauan pendidikan, kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:

Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197).

Namun pada dasarnya, tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst).

Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya sistem pemberianreward (hadiah) dan punishment (hukuman). Yang mana rewarddan punishment tersebut pada umumnya dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan, motivasi), yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901). Dorongan atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.

Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility).

Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.

Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21.

Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.

Sumber:

Alifuddin, MM. 2012. Reformasi Pendidikan (Strategi Inovatif Peningkatan Mutu Pendidikan. Jakarta: MAGNAScript Publishing.

Marno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. Malang: Refika Aditama.

UUD 1945 Negara Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar